Sedangkan Sudaryanto Priyono bercerita bahwa akibat dari peristiwa pada tahun 1965, dirinya yang pada saat itu tengah menjalani pendidikan di salah satu universitas di Moskow, Rusia kehilangan kewarganegaraannya sebagai warga negara Indonesia.
“Karena saya tidak memenuhi syarat skrining terhadap itu dilakukan di mana, di sana ada poin bahwa harus mengutuk Bung Karno, ini yang langsung tidak saya terima,” katanya kepada Jokowi.
“Dan akhirnya dalam seminggu sesudahnya saya menerima surat pemberitahuan bahwa paspor saya sudah dicabut dan saya kehilangan kewarganegaraan,” sambungnya.
Suryo pun mengapresiasi program yang diluncurkan oleh pemerintah dalam pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non-yudisial pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat.
Suryo menilai hal tersebut menunjukkan kepedulian pemerintah terhadap para korban.
“Jadi ini walaupun mungkin tidak memuaskan semua pihak tapi buat saya pribadi ini merupakan langkah yang berarti untuk memberikan ketentuan bahwa ini diurusi dengan sangat serius dan tanpa pamrih,” tuturnya.
Suryo pun berharap agar hal serupa tidak terjadi kembali kepada generasi muda saat ini.
“Agar generasi muda dan yang akan datang tidak mengalami nasib-nasib yang kita alami, bukan seperti kita tapi seperti 12 kasus HAM berat yang telah terjadi,” ucapnya.
Sementara itu, Sudaryanto menyebut bahwa langkah yang diambil pemerintah ini merupakan langkah yang penuh keberanian dan menunjukan kebijaksanaan yang penuh dengan tanggung jawab.
“Kami tidak menyangka bahwa pemerintah masih peduli dengan kami yang ada di luar, dan ini menunjukkan kebijaksanaan Pak Joko Widodo yang cukup tinggi, kebijaksanan yang penuh tanggung jawab,” tandasnya.