Aliansi.co, Jakarta– Harga minyak mentah dunia berada di level US$ 73,18 per barel.
Posisi ini lebih rendah dibandingkan harga minyak mentah dunia di awal tahun 2023, yang masih di posisi US$ 80,11 per barel.
Analis Pilarmas Investindo Sekuritas Desy Israhyanti mengatakan harga minyak mentah dunia yang masih bertahan di level rendah tentunya akan berdampak terhadap average selling price (ASP) bagi emiten sektor migas terutama yang memiliki porsi ekspor besar.
“Pengaruhnya akan banyak ke sisi top line dan tentu pengaruh ke bottom line,” ujarnya di Jakarta, Selasa (28/3).
Desy melihat, prospek emiten-emiten yang bergerak di sektor migas sudah mulai turun mengingat emiten minyak sudah mulai menurunkan produksinya setelah melihat unfavorable policy dari pemerintah yang lebih menekankan terhadap pemanfaatan renewable energy.
Sehingga, emiten migas saat ini banyak yang melakukan diversifikasi bisnis.
Dari sisi permintaan pun sudah banyak yang mulai akan beralih ke pemanfaatan energi terbarukan terutama pada proyek-proyek yang akan dibangun.
Meski demikian, Desy mengatakan, energi terbarukan yang masih mahal sebab kuantitas dan kompetisinya yang masih belum tinggi, menyebabkan energi minyak bumi masih akan terserap secara jangka pendek dan menengah.
Senada Head of Research Jasa Utama Capital Sekuritas Cheril Tanuwijaya mengatakan penurunan harga minyak memang bisa menurunkan rata-rata harga jual emiten migas.
Namun emiten juga memiliki berbagai diversifikasi sumber revenue sehingga dampaknya bisa relatif terbatas.
Cheril mengatakan, kinerja emiten yang bergerak di minyak bumi masih berpotensi positif seiring meredanya kasus Covid-19 di dunia dan meningkatnya permintaan minyak dunia sehingga menjadi penopang hasil pendapatan yang baik dari emiten migas.