Aliansi.co, Jakarta- DPRD DKI Jakarta diminta untuk menerapkan moratorium pemberian Penyertaan Modal Daerah (PMD) kepada PT Jakarta Propertindo (Jakpro).
Moratorium atau penghentian sementara PMD ini dirasa mendesak mengingat berakhirnya masa jabatan DPRD DKI Jakarta periode 2019-2024 pada bulan ini.
Menurut Ketua Umum Himpunan Masyarakat Nusantara (Hasrat) Sugiyanto, DPRD perlu melakukan moratorium PMD kepada PT Jakpro karena rugi usaha BUMD Pemprov DKI itu mencapai Rp 1,4 trilun dalam lima tahun terakhir.
“Dalam masa transisi ini, diperlukan langkah tegas terkait pengelolaan keuangan daerah, khususnya mengenai PMD kepada BUMD,” kata Sugiyanto dalam keterangan tertulisnya, Kamis (15/8/2024).
Ia pun mendesak DPRD untuk memberlakukan moratorium pemberian persetujuan PMD kepada PT Jakpro.
DPRD juga dapat berargumen bahwa PMD baru hanya akan diberikan setelah penyebab kerugian usaha PT Jakpro yang mencapai Rp 1,4 triliun tersebut dapat diidentifikasi dengan jelas.
Selain itu, diungkapkannya, PT Jakpro salah satu BUMD yang menangani proyek-proyek besar di Jakarta, telah mengalami kerugian usaha yang signifikan.
Kejadian ini terjadi sejak tahun 2019, selama lima tahun berturut-turut, baik pada era Gubernur Anies Baswedan maupun pada masa Pejabat Gubernur Heru Budi Hartono di tahun 2023.
Menurutnya, total kerugian tersebut menimbulkan kekhawatiran serius terkait manajemen dan efektivitas penggunaan dana daerah.
Moratorium PMD menjadi langkah krusial agar DPRD, baik yang sedang menjabat maupun yang baru, dapat fokus pada penyelidikan mendalam terhadap faktor-faktor penyebab kerugian ini.
“DPRD perlu membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelidiki apakah kerugian ini disebabkan oleh risiko bisnis yang wajar atau oleh kebijakan Pemprov DKI Jakarta yang memberikan penugasan berlebih kepada PT Jakpro,’ bebernya.
Selain itu, kata Sugiyanto, kemungkinan adanya perencanaan yang kurang matang dari BUMD itu sendiri harus ditelusuri.
Dia juga menyampaikan aspek lain yang tak kalah penting adalah potensi adanya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam proses pemberian dan penggunaan PMD, yang juga harus diselidiki dengan seksama.
“Alasan-alasan yang seperti kerugian usaha akibat biaya operasional dan penyusutan aset yang besar, tidak dapat diterima begitu saja,” ujarnya.
“Kemungkinan kesalahan dalam perencanaan pengajuan PMD harus diteliti sebagai faktor utama,” sambungnya.
Pria yang biasa disapa SGY ini menerangkan, BUMD seharusnya telah memperhitungkan semua aspek tersebut dalam rencana bisnis mereka.
Termasuk potensi keuntungan dari pengelolaan aset, sehingga tetap mampu menghasilkan laba dan memberikan kontribusi berupa dividen kepada Pemprov DKI Jakarta.
Oleh karena itu, dia menyarankan agar moratorium pemberian PMD ini harus diterapkan dalam pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2025 dan seterusnya.
Dia menenakankan, PMD baru sebaiknya tidak diberikan hingga seluruh masalah terkait penyebab kerugian PT Jakpro dapat terungkap dengan jelas.
“DPRD harus menentukan apakah kerugian ini disebabkan oleh risiko bisnis yang wajar, kebijakan yang tidak tepat, atau karena perencanaan yang tidak matang dari BUMD,” terangnya.
Selain itu, ditambahkan SGY, ada kemungkinan kerugian ini juga dipicu oleh potensi praktik KKN, yang dapat menjadi faktor utama mengapa PT Jakpro mengalami kerugian hingga mencapai Rp 1,4 triliun.
Tanpa adanya klarifikasi dan tindakan korektif, kata dia, pemberian PMD di masa depan berisiko semakin merugikan keuangan daerah dan menghambat pembangunan Jakarta.
“Bagaimanapun PMD adalah uang rakyat yang berasal dari APBD, sehingga mengutamakan kepentingan rakyat melalui program-program pemerintah harus menjadi prioritas utama,” tandasnya.