Aliansi.co,Jakarta- Mantan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam, dan mantan Dirut Perindo, Syahril Japarin, serta mantan Koordinator Tim Environmental Issues Settlement PT Chevron, Kukuh Kertasafari, mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang (UU) Tipikor.
Melalui kuasa hukumnya Maqdir Ismail, ketiga mantan pejabat ini mengajukan judicial review Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi alias Tipikor.
“Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 yang sering digunakan aparat penegak hukum untuk menjerat pelaku korupsi, mengingat cakupannya yang luas dan ancaman hukumannya yang cukup berat, ” kata Maqdir dalam keterangannya, dikutip Selasa (24/9/2024).
“Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menekankan pada dua aspek utama, yaitu perbuatan melawan hukum, dan dampak berupa kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, ” sambungnya.
Dia menyampaikan, korupsi merupakan masalah serius yang menghambat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di Indonesia.
Namun, strategi penegakan hukum sejauh ini lebih berfokus pada perbuatan yang merugikan keuangan negara.
Padahal, lanjut Maqdir, UU Tipikor mendefinisikan 29 jenis korupsi lain, termasuk suap.
“Fokus berlebihan aparat pada aspek kerugian negara yang ditimbulkan telah mengaburkan esensi korupsi dan kerap menimbulkan kriminalisasi terhadap kebijakan yang seharusnya tidak dipidana,” bebernya.
“Atas dasar itu pemohon mengajukan uji materil ke MK,” tambahnya.
Menurutnya, pasal ini bertujuan memberikan hukuman yang setimpal kepada mereka yang dengan sengaja dan secara tidak sah memperoleh keuntungan pribadi atau untuk kepentingan pihak lain dengan mengorbankan keuangan negara.
Adapun Pasal 3 UU Tipikor, kata dia, lebih spesifik mengatur tentang penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada pada seseorang karena jabatannya, yang juga merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
“Dalam praktiknya, penerapan kedua pasal ini sering kali menghadapi tantangan, terutama dalam hal pembuktian dan interpretasi hukum, yang cenderung lebih menekankan pada aspek kerugian negara daripada unsur memperkaya diri secara melawan hukum,” ungkap Maqdir.
Menurut Maqdir, pendekatan yang berfokus pada kerugian negara ini kerap didorong oleh desakan untuk menunjukkan besarnya dampak ekonomi dari korupsi.
Di satu sisi, pendekatan tersebut mengaburkan esensi korupsi itu sendiri, yaitu perbuatan curang yang bertujuan mendapatkan keuntungan secara tidak sah, baik bagi diri sendiri maupun pihak lain.
“Dalam beberapa kasus, fokus yang berlebihan pada kerugian negara telah menimbulkan konsekuensi yang tidak adil bagi terdakwa, terutama ketika tidak ada niat jahat untuk memperkaya diri secara melawan hukum, ” jelas Maqdir.
Maqdir melanjutkan, permasalahan semakin kompleks ketika penegak hukum mulai memperluas definisi kerugian perekonomian dan keuangan negara untuk mencakup berbagai bentuk kerugian, termasuk kerugian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Hal ini membuat direksi BUMN berada dalam posisi yang rentan.
Keputusan bisnis yang mengakibatkan kerugian bagi perusahaan dapat dipandang sebagai tindak pidana korupsi, meskipun keputusan tersebut diambil dengan iktikad baik dan sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat.
“Di beberapa kasus besar, acapakali terjadi sesat tafsir pada aparat penegak hukum sehingga kerugian BUMN akibat kebijakan bisnis dianggap tindak korupsi, ” ujarnya.