Aliansi.co, Jakarta-– Sejak diberlakukan pelarangan ekspor biji nikel 1 Januari 2020, terjadi butterfly effect yang positif terhadap sirkulasi hilirisasi hikel termasuk penyerapan tenaga kerja, pendapatan pajak, dan keberlangsungan investasi.
Hal tersebut dikatakan Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Nikel Perjuangan (APNIPER) Achyar Al-Rasyid
Meski demikian, dia menyebut, turunnya permintaan stainless steel global menjadi challenge baru ketika suplay lebih banyak daripada demand-nya.
“Jika boleh diuraikan permasalahan mendasar terdapat pada pertama, harga pokok produksi Nickel Pig Iron (NPI) sebagai salah satu kandungan di dalam stainless steel. Batu bara digunakan untuk memanaskan tungku pembakaran ore nickel,” katanya di Jakarta, Jumat (12/5/2023).
“Ketersediaan batu bara nasional sangat krusial untuk menjaga sustainabilitas industri nickel tanah air,” ujar Achyar.
Pasalnya, kata dia, pasca penetapan (domestic market obligation) DMO 25 persen, ditetapkan harga jual batubara untuk Penyediaan Tenaga Listrik demi Kepentingan Umum sebesar USD 70 (tujuh puluh dollar Amerika Serikat) per metrik ton Free On Board (FOB) Vessel, sementara untuk harga industri lainnya tidak mengalami spesialisasi.
Hal ini yang memengaruhi harga pokok produksi Nickel Pig Iron (NPI) meningkat.
Namun apabila terdapat penyetaraan harga antara untuk tenaga listrik dan industri pemurnian nikel (smelter), merupakan solusi untuk menekan harga pokok produksi.
Achyar menambahkan jika HPM (harga patokan mineral) yang diturunkan untuk menjaga stablitas cashflow industri pemurnian nickel (smelter) tentu saja yang akan babak belur adalah para penambang karena ore yang dihasilkan penambang di beli murah oleh smelter.
“Mengingat semangat sustainabilitas adalah bagaimana menawarkan win win solution kepada semua pihak yang terlibat di lingkaran industri nikel tanah air,” katanya.
Kedua, Achyar melihat Surat Edaran Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor : 2.E/MB.04/MEM.B/2023 Tentang Kewajiban Pelaksanaan Transaksi Penjualan dan Pembelian Bijih Nikel Dalam Basis Free On Board (FOB) menetapkan bahwa sistem pelaksanaan harga patokan mineral (HPM) adalah berbasis Free On Board (FOB).
Yang dimana menentukan bahwa tanggung jawab dan risiko pengiriman barang ditanggung oleh penjual sampai barang tersebut diterima oleh kapal pengangkut di pelabuhan pengapalan belum terlaksana sepenuhnya.
“Pemerintah harus memastikan betul betul berjalan dilapangan agar terciptanya kepastian dan keadilan harga ore nickel,” Achyar menegaskan.
Kemudian masalah yang ketiga adalah shipping cost yang tinggi dalam proses distribusi ore nickel yang terjadi karena biaya sewa kapal tongkang yang naik pasca kenaikan harga minyak dunia pada bulan oktober 2022 lalu menjadi rata-rata ICP bulan Oktober 2022 mencapai US$89,10 per barel, naik sebesar US$3,03 per barel dari US$86,07 per barel pada bulan September 2022. S
ementara pada Februari 2023 ditetapkan rata-rata ICP sebesar USD79,48 per barel.
“Artinya minyak dunia mengalami penurunan tetapi shipping cost tetap tidak mengalami penyesuaian. Hal ini harusnya menjadi concern para stakeholder dan pemerintah untuk mengatur melaui regulasi terkait biaya sewa kapal tongkang, guna menjaga sustainabilitas industri nikel tanah air,” tuturnya.