Konsorsium palsu itu ide dari tiga tersangka yakni Ivo Wongkaren (IW), Richard Cahyanto (RC), dan Roni Ramdani (RR) lewat PT Primalayan Teknologi Persada (PTP) untuk memproses distribusi bansos.
“Atas ide IW, RR, dan RC, PT PTP membuat satu konsorsium sebagai formalitas dan tidak pernah sama sekali melakukan distribusi bantuan sosial beras,” kata Marwata.
Kasus korupsi ini berawal saat PT Bhanda Ghara Reksa (BGR) ditunjuk oleh Kemensos tahun 2020 untuk menyalurkan bantuan beras dengan nilai kontrak Rp 326 miliar.
PT BGR lalu menunjukkan PT PTP secara sepihak sebagai rekanan distributor.
Namun, kerja sama itu tidak dilakukan berdasarkan kajian yang sesuai dengan aturan yang berlaku.
“Dalam penyusunan kontrak konsultan pendamping antara PT BGR dengan PT PTP tidak dilakukan kajian dan perhitungan yang jelas dan sepenuhnya ditentukan secara sepihak oleh MKW ditambah dengan tanggal kontrak juga disepakati untuk dibuat mundur,” tuturnya.
Alexander mengatakan pada periode September hingga Desember 2020 telah terjadi pembayaran uang muka dan uang termin terkait jasa konsultan ke PT BGR dan dibayarkan ke rekening bank PT PTP sebesar Rp 151 miliar.
Namun, pada periode Oktober 2020 hingga Januari 2021, ada temuan penarikan uang sebesar Rp 125 miliar dari rekening PT PTP.
“Penarikan uang sebesar Rp 125 miliar dari rekening PT PTP yang penggunaannya tidak terkait sama sekali dengan distribusi bantuan sosial beras,” bebernya.
Perbuatan para tersangka mengakibatkan kerugian keuangan negara sekitar Rp127,5 miliar.
Para tersangka dijerat melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).