Kedua, lanjut Sugiyanto, kemungkinan hak angket DPR terkait pemilu 2024 akan menargetkan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Kemungkinan, kata dia, Jokowi akan dianggap DPR melanggar peraturan perundang-undangan atau ketidaknetralan dan aspek pelanggaran lainnya.
“Dalam kontek ini DPR mungkin menghadapi kesulitan membuktikan dengan pasti pelanggaran aturan yang dilakukan oleh Presiden Jokowi. Karena hingga saat ini belum ada bukti resmi dan meyakinkan yang menunjukkan bahwa Jokowi melanggar peraturan terkait pemilu 2024,” katanya.
Hingga kini, lanjutnya, Jokowi juga belum membuat suatu kebijakan, termasuk keputusan presiden (kepres) atau kebijakan lainnya, yang secara jelas melanggar ketentuan perundang-undangan terkait pemilu.
Jika DPR tidak dapat membuktikan secara tepat hal ini, lanjutnya, bisa berdampak negatif pada DPR, terutama bagi anggota yang mendukung hak angket.
“Konsekuensinya, mungkin timbul ketegangan dalam hubungan antara pemerintah dan DPR, termasuk dengan masyarakat yang tidak mendukung hak angket,” ujar Emik, sapaan akrabnya.
Satu sisi, diungkapkannya, Jokowi cukup mudah untuk menangani permasalahan terkait Pemilu.
Presiden Jokowi, kata dia, dapat berargumentasi bahwa urusan pemilu sepenuhnya berada di bawah wewenang Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Hal itu sesuai dengan amanat konstitusi yang menegaskan bahwa Pemilu dilaksanakan oleh KPU yang bersifat nasional dan mandiri.
Lalu ketiga, ditambahkan Sugiyanto, yang kemungkinan dipilih DPR adalah mempertanyakan hak angket DPR terhadap KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan lembaga terkait lainnya.