Tanggapan Keluarga
Setelah pihak kepolisian menggelar konferensi pers pada 8 Oktober 2024, keluarga korban diungkapkan Hezekia merasa bahwa pernyataan yang disampaikan tidak mencerminkan realitas yang mereka alami.
Orangtua mengaku khawatir atas pernyataan kepolisian yang menyebut kejadian ini sebagai ‘suka sama suka’ dalam hubungan pacaran.
“Korban masih di bawah umur, dan tidak seharusnya ada alasan pembenar untuk tindakan pelaku yang jelas merupakan predator,” tegas Hezekia.
Lebih lanjut dipaparkannya, kasus ini tidak hanya mencerminkan masalah penculikan anak, tetapi juga pentingnya perlindungan dan pengawasan bagi anak di era digital.
Keluarga korban berharap bahwa langkah-langkah yang diambil oleh pihak kepolisian dapat membawa keadilan bagi anak mereka, serta mencegah kejadian serupa di masa mendatang.
“Kita semua memiliki tanggung jawab untuk memastikan keselamatan anak-anak kita dan menjaga mereka dari ancaman yang ada,” tutupnya.
Pelaku Ditangkap
Dilansir dari video konferensi pers yang beredar, kejadian berawal dari perkenalan di salah satu aplikasi, A (12) menjadi korban penculikan dan pemerkosaan oleh SPS (22), selama sepekan.
Disebutkan, sejak Selasa (16/9/2024) hingga Senin (23/9/2024), A diculik dan disekap oleh SPS di gudang kosong di daerah Pekojan, Tambora, Jakarta Barat.
Tidak sampai di situ, pelajar kelas enam sekolah dasar itu juga enam kali diperkosa pelaku.
Kepala Kepolisian Resor (Polres) Metro Jakarta Barat Komisaris Besar M Syahduddi mengatakan, setelah SPS menyekap korban selama tujuh hari, SPS membebaskan dan mengembalikan korban tak jauh dari rumah korban di kawasan Kalideres.
Penculikan itu, ucap Syahduddi, berawal saat tersangka berkenalan dengan korban melalui aplikasi kencan Litmach pada Senin (15/9/2024).
Perkenalan itu pun berlanjut dengan saling bertukar nomor WhatsApp untuk bertemu janji di Taman Bulak Teko, Jalan Peta Jalan Selatan, Kalideres.
SPS kemudian mengajak korban jalan dan dibawa ke sebuah gudang kosong.
Di situ, korban diperkosa.
Dari hasil pemeriksaan visum et repertum di Rumah Sakit Tarakan juga menunjukkan bukti kuat adanya kekerasan seksual.
SPS mengaku, tindakan itu karena didasari saling suka.
Namun, kata Syahduddi, perbuatan tersangka tetap tidak bisa dibenarkan karena korban masih di bawah umur dan telah membawa kabur tanpa persetujuan orangtua.
”Pelaku membawa korban ke sebuah kamar di lapak barang bekas. Di situ, selama tujuh hari korban tidak pernah keluar kamar jika siang hari, dan jika keluar hanya malam hari untuk mandi,” ujarnya.
Atas perbuatannya, tersangka SPS dikenai Pasal 81 Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak dan atau Pasal 332 Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pasal itu memuat aturan terkait membawa lari perempuan yang belum dewasa tanpa seizin orangtuanya.
Tersangka SPS terancam hukuman 12 tahun penjara.